Negeri Tanpa kepala (puisi untuk Pusat Dokumentas Sastra yang terancam tutup)

 

sebuah puisi untuk Pusat Dokumentas Sastra yang terancam tutup

 

Negeri Tanpa kepala

(untuk PDS HB Jassin)

berdiri di atas kaki sendiri

singsingkan lengan baju,

tegakkan bahu membusung berani.

otot kawat tulang besi.

terbang menukik ke langit tinggi.

 

lho ?

tapi mana kepalanya?

kepala?

mana kepalanya?

tak ada kepalanya ! tak ada kepalanya !

 

mana kepala?

pusat peradaban.

pusat pemikiran.

sambungan nurani,

muara hati.

mana?

 

coba kau cari di sawah,

tempat rumput hijau berlembar lembar disana.

yang biasa dimakan kerbau hitam.

yang tebal mukanya

yang hitam kulitnya,

yang hitam dagingnya,

yang hitam hatinya,

tapi tetap rumput berwarna hijau berlembar lembar,

yang tetap digerogoti tikus padi.

 

tak ada!

lalu cari dimana?

 

coba kau cari di gedung gedung,

di situ tampaknya ramai sekali.

banyak suara hampa disana.

foya foya.

atau dibawahnya

ke tempat wanita pelacur

hingga pria pria penganggur.

 

tak ada!

lalu cari dimana lagi?

 

coba cari di jakarta,Indonesia.

disana ada pusat sastra.

sastra? apa itu?

kok aku baru tahu?

itu, pusat dokumentasi.

pusat dokumentasi ?

rasanya sudah tidak ada lagi.

 

lalu?

kemana kita cari kepala?

pusat segala budaya,

perut sudah mulai membesar.

tubuh tak lagi kekar.

tapi kepala masih samar.

 

apa mungkin sudah kesasar?

atau terpapar?

Perkembangan Dialektologi

Perkembangan Dialektologi

Dialektologi banyak mendapat perhatian dari para ahli bahasa menjelang abad ke-19. Dua tokoh terkenal yang dianggap sebagai “bapak” ilmu geografi dialek adalah Gustav Wenker dan Jules Louis Gillieron. Wenker mengirimkan daftar tanyaan (kuisioner) kepada para guru di daerah Renia (Jerman) pada tahun 1876, sedangkan Gillieron di daerah Vionnaz (Swiss) pada 1880. Metode yang digunakan adalah metode pupuan (angket) lapangan untuk pembuatan atlas bahasa. Kedua penelitian inilah yang mengawali penelitian dialektologi yang kemudian mempengaruhi penelitian dialek di negara-negara lain. Berikut adalah gambaran singkat penelitian geografi dialek sesudah dan sebelum tahun 1875.

Masa Sebelum 1875.

Sebelum tahun 1875, tulisan-tulisan mengenai dialek hampir selalu dikaitkan dengan ilmu bahasa bandingan dan filologi, terutama bahasa-bahasa Indo Eropa. Tulisan-tulisan tersebut pada umumnya berakhir dengan adanya dugaan bahwa bahasa-abahsa atau dialek yang ditelaah tersebut berkerabat.

Penerjemahan naskah Decamerone ke dalam 12 dialek Italia pada tahun 1584 dilakukan dengan menggunakan metode pupuan sinurat (angket koresponden), berpengaruh besar terhadap terbitnya karya-karya sejenis setelahnya. Kemudian, metode pupuan lapangan dilakukan pertama kali oleh Martin Sarmiento (Spanyol) pada tahun 1730. Lalu ia menganjurkan para pemuda menguasai bahasa Latin melalui bahasa ibunya masing-masing, mengusulkan penyusunan kamus bahasa-bahasa Roman, serta memerhatikan bunyi untuk menentukan asal-usul kata. Lanjutkan membaca “Perkembangan Dialektologi”

Gombloh dan Serat Wedhatama

Mingkar-mingkuring angkoro

Akarono karnan mardi siwi

Sinawung resmining kidung

Sinubo sinukarto.

ini adalah salah satu cuplikan dalam serat wedhatama

Mingkar-mingkuring angkoro

Akarono karnan mardi siwi

Sinawung resmining kidung

Sinubo sinukarto.

ini adalah salah satu cuplikan dalam serat wedhatama

namun kalimat ini juga muncul di lagu gombloh yang berjudul Hong Wilaheng,

(artikel dilanjutkan besok . . . .  .)

besok datang, sekarang mau ngelanjutin,

secara kata memang bisa dikatakan plagiat, tapi banyak yang memperdebatkan lagu satu ini, contohnya disini

dijelaskan banyak perbedaan kata kata dan penambahan sendiri oleh pakde gombloh supaya cocok dengan lagunya, saya sendiri juga masih bingung karen belum pernah baca  serat wedhatama Lanjutkan membaca “Gombloh dan Serat Wedhatama”

Atas ↑