Ketika Adhitia, dan Efek Rumah Kaca dipenjara.

pada speaker sonic gear, adhitia sofyan terkurung di dalamnya. untuk membunuh kesepian,ia hanya bisa bermain dua album yang tertera pada aplikasi jet audio yang nongol di monitorku.

aku yang rebahan di kasur sambil menangkap petikan gitarnya adhitia satu demi satu,perlahan merasakan ada awan mendung yang merasuk lewat kusen pintu kamar. berbaris lambat satu demi satu lalu berkumpul di langit langit kamar.

di sebelah kanan kasur yang aku tempati tidur,turun gerimis. pelan pelan seirama dengan petikan gitar adhitia yang juga mengalun lembut. aku masih melihat langit langit kamar tepat diatasku yang tidak turun hujan, awan awannya berputar putar pelan seperti terbawa angin dari kipas angin kamarku. Lanjutkan membaca “Ketika Adhitia, dan Efek Rumah Kaca dipenjara.”

Negeri Tanpa kepala (puisi untuk Pusat Dokumentas Sastra yang terancam tutup)

 

sebuah puisi untuk Pusat Dokumentas Sastra yang terancam tutup

 

Negeri Tanpa kepala

(untuk PDS HB Jassin)

berdiri di atas kaki sendiri

singsingkan lengan baju,

tegakkan bahu membusung berani.

otot kawat tulang besi.

terbang menukik ke langit tinggi.

 

lho ?

tapi mana kepalanya?

kepala?

mana kepalanya?

tak ada kepalanya ! tak ada kepalanya !

 

mana kepala?

pusat peradaban.

pusat pemikiran.

sambungan nurani,

muara hati.

mana?

 

coba kau cari di sawah,

tempat rumput hijau berlembar lembar disana.

yang biasa dimakan kerbau hitam.

yang tebal mukanya

yang hitam kulitnya,

yang hitam dagingnya,

yang hitam hatinya,

tapi tetap rumput berwarna hijau berlembar lembar,

yang tetap digerogoti tikus padi.

 

tak ada!

lalu cari dimana?

 

coba kau cari di gedung gedung,

di situ tampaknya ramai sekali.

banyak suara hampa disana.

foya foya.

atau dibawahnya

ke tempat wanita pelacur

hingga pria pria penganggur.

 

tak ada!

lalu cari dimana lagi?

 

coba cari di jakarta,Indonesia.

disana ada pusat sastra.

sastra? apa itu?

kok aku baru tahu?

itu, pusat dokumentasi.

pusat dokumentasi ?

rasanya sudah tidak ada lagi.

 

lalu?

kemana kita cari kepala?

pusat segala budaya,

perut sudah mulai membesar.

tubuh tak lagi kekar.

tapi kepala masih samar.

 

apa mungkin sudah kesasar?

atau terpapar?

Hujan

tetapkah duduk disini?

ketika mereka berlari semburat,berebutan mencari tempat teduh yang hangat.

 

pasanglah telinga kanan kiri,

hidupkanlah nyala hati,

lalu putarlah sebuah memori,

 

kau dengar mereka berdenting tanpa henti,

di genteng, kolam, rumputan, batu, jerami,

ada juga di wajahmu, yang perosotan di pipi,

membentuk nada nada di tempatnya sendiri,

jadi resonansi,untaian melodi pembawa rindu,

 

………

 

clap!!

kilatan cahaya membawa jiwaku dalam kerlap,seperti gelap,

aku berpindah dalam sekejap,

 

berjalan ke lorong lorong penuh bingkai sepi.

kau lihat diputarkan semua kejadian itu kembali

saat saat ruap gejolak luber dari hati,dan kamu pada akhirnya penuh sesal mengutuki diri sendiri.

saat hati kecil berkata :betapa bodohnya kamu ini.

 

…..

 

 

syut!! Lanjutkan membaca “Hujan”

langit

langit senja,

kutatap wajahnya tanpa ragu,

lalu di sela sela rongganya,

ada mata yang ingin memburu.

waktu,

 

dan kulihat lagi sambil sembunyi sembunyi,

masih ada yang datang satu lagi,

kata kata meluncur elang seperti panah,

membawa segala amarah,

aku pun pasrah,

lalu tubuh pun rebah,

yang sisa hanya telinga memerah,

hati berdarah darah,

 

sudah,

aku sudahi saja ini ,

dan kulawan saja langit kurang ajar ini !

tanpa takut mati.

tapi langit malah menangis,

basah kuyup aku sendiri

 

angka

(1)

sendiri.

kesepian menggelayut di pikiranku.

menunjukkan jalan menuju malam malam kelabu

 

(2)

sepasang kekasih memadu cinta.

seonggok setan tersenyum merajut dosa.

hadiah untuk mereka berdua.

 

(3)

pukul tiga pagi.

ini waktu masih dini hari.

aku tak tidur mencarimu di kamar, di pikiran dan di ruang hati.

aku tak sadar kalau kamu menunggu berjam jam di alam mimpi.

 

(4)

pat gulipat.

jangan menggunting dalam lipat.

ada sesal yang datang karena cinta tak sempat.

terucap dengan kata kata yang tepat.

 

(5)

ibu jari, telunjuk, tengah, manis dan kelingking.

semua jarinya itu lentik lagi manis.

apa jua yang masih buat kau menangis ?.

cincin di jari manis, itu yang buat hati teriris.

 

(6)

pukul enam pagi di hari minggu.

sinar matahari menyusup melalui jendela dan pintu.

hari ini kau bawakan aku seprinig penuh gerutu.

padahal aku ingin setangkup roti dan madu.

 

(7)

senin hingga minggu jadi penanda waktu berpacu.

ada yang rindu memanggilmu dengan tersedu.

suara serak, hati sendu, bercampur menjadi alunan merdu.

dirimu menjauh terus membiarkannya berlalu.

acuh, semakin tak mau tahu makin tak tahu malu.

 

(8)

kaki laba laba cekatan menenun jaring di hati.

langit berpilin membentuk payung raksasa warna kelabu,

ada yang bilang hatimu sedang sendu.

tapi laba laba masih menenun jaring selambu.

untuk menjerat hatimu.

jadi makanannya.

 

(9)

mmmm,

di september masih ada hujan agak gerimis.

bossanova dan slowjazz tumpang tindih dalam playlist.

dalam pikiranku diputarkan gambaran wajahmu sisi demi sisi,

jadi pengantar menuju tidur yang paling aku benci.

 

(0)

kekosongan jadi nyata ketika disadari.

tinggal mimpi mimpi yang diputar berurutan tanpa jeda maupun spasi.

satu,dua,tiga, hingga mulai dari nol lagi.

kamu benar sudah pergi dari ruang ini,

tinggal hujan menari ,sunyi yang bernyanyi sepi.

 

Atas ↑